Kamis, 31 Juli 2008

Situs Candi Tertua di Karawang


Dalam perjalanan sejarahnya, Karawang menyimpan banyak bukti-bukti peninggalan kejayaan peradaban masa lalu, ditemukannya lokasi percandian di Batujaya yang dipercaya sebagai bukti peninggalan kerajaan Tarumanagara abad 2 Masehi, adanya kuil Sin Jien Ku Poh di Tanjungpura yang berdiri sejak Abad 7 Masehi, kemudian ditemukannya situs lain di Desa Dongkal Kecamatan Pedes sebagai bukti peninggalan suku Buni atau dikenal dengan Proto Malayu dan lainnya.Pada periode tahun 1980-an sebelum industrialisasi masuk ke Karawang, ada satu daerah yang dikenal dengan sebutan "batu tulis", di sana terdapat peninggalan berbentuk prasasti yang tertulis, namun sampai saat ini keberadaan prasasti itupun tidak lagi diketahui.Karawang Pangkal Perjuangan, slogan itu membuktikan bahwa di daerah ini ribuan tahun yang lalu pernah terdapat komunitas masyarakat peradaban yang merupakan cikal bakal lahirnya generasi kita, maka sewajarnya kita melestarikan dan menjaganya karena kita adalah pewaris kejayaan masa lalu
Selain terkenal dengan sebutan lumbung padinya Jawa Barat, dewasa ini seiring dengan diketemukannya kompleks percandian di dua lokasi terpisah yakni Batujaya dan Cibuaya, Kabupaten Karawang mendapatkan predikat baru sebagai lumbung candi di Jawa Barat, mengingat hasil temuan candi disana lebih luas diantara lokasi-lokasi lainnya di provinsi penyangga ibu kota DKI Jakarta ini.Saya tidak akan menjelaskan terlalu jauh tentang seluk beluk dan nilai-nilai arkeologis dan sebagainya, karena seyogyanya jauh sebelum saya menulis tulisan ini, beberapa tulisan mengenai candi ini baik dari peneliti, sejarawan, pengamat sampai budayawan telah ramai mengiringi kepopuleran candi ini, khususnya diawal tahun 2000.Yang saya akan lebih kedepankan adalah, bagaimana dengan sekarang?!Banyak hal yang diteliti, banyak kesimpulan dan spekulasi kenyataan yang diterbitkan mengenai situs Batujaya dan Cibuaya di Karawang ini, bukan hanya oleh peneliti dan ilmuan dalam negeri bahkan juga dari luar, diantaranya Belanda dan Perancis. Sejumlah penelitian itu seakan membuka harapan bahwa tabir misteri yang menyelimuti sejarah kepurbakalaan Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Dan memang benar ternyata sedikit demi sedikit mulai terjawab. Nama Tarumanegara muncul sebagai kerajaan yang berkuasa saat dibangunnya percandian yang terbesar di Jawa Barat ini (minimal sampai belum diketemukan wilayah lainnya), kemudian muncul juga kesimpulan bahwa candi ini dibangun sekitar abad 2 Masehi, jauh lebih tua dibandingkan candi di Jawa Tengah semisal Borobudur (abad 8 M) yang menjadi salah satu dari delapan keajaiban dunia, dan tentu saja kesohor didunia.Sejumlah penelitian sudah dilakukan, sejumlah kesimpulan sudah dikedepankan, maka selesai sampai disitu. Tinggal menunggu penelitian lanjutan yang dimunculkan dari kesimpulan sebelumnya, karena seperti itulah sejarah diupayakan menjadi sejarah, terus direvisi mendekati kesempurnaan yang sesungguhnya diragukan. Ya, selesai sampai disitu, kemudian tinggalkan lokasi, semuanya berkumpul di laboratorium untuk mengambil bukti-bukti yang ditemukan dilokasi demi kepentingan penelitian, nah lalu bagaimana dengan lokasinya?Pertanyaan terakhir itu yang kemudian mendorong saya untuk menulis tulisan ini. Dipenghujung 2006 lalu, tepatnya pasca hari raya Idul fitri, singkat cerita saya berkunjung ke lokasi percandian Batujaya yang sohor itu, melewati perjalanan yang lumayan melelahkan, macet tentu saja walaupun tidak terlalu parah, banyak kendaraan yang tampaknya memiliki tujuan yang sama, beberapa diantaranya tampak berlawanan arah, rupanya tengah menuju arah pulang. Namun, beberapa kendaraan yang saya yakini adalah para wisatawan lokal terus melaju kearah lain ketika saya berbelok kesebuah jalan dimana tertera “Candi Jiwa” yang berada di desa Segaran kecamatan Batujaya –ya saya berbelok kearah jalan itu karena itulah tujuan saya, namun mereka tidak berbelok, mereka terus lurus, dan saya langsung berkesimpulan waktu itu bahwa bukan ke kompleks percandian ini arah wisata mereka tapi ke pantai Pakisjaya yang memang berada tidak jauh. Maka saya lanjutkan perjalanan, dan sampailah dilokasi yang dimaksud. Terletak ditengah hamparan pesawahan yang ditanami padi yang sudah mulai berbuah, candi yang dinamai candi Jiwa tampak gagah menantang langit. Berjarak ± 5 petak sawah, terdapat candi Blandongan yang dibentengi oleh seng, ternyata masih mengalami proses pemugaran. Dua candi itulah yang saya temukan, selebihnya saya tidak menemukan gerombolan wisatawan disana, yang ada hanya empat orang muda-mudi yang tengah bercengkrama, itupun saya yakini dari logat bahasa mereka adalah penduduk setempat. Setelah puas melihat-lihat dan berfoto-foto, maka saya keluar lokasi pesawahan itu dan berusaha mencari narasumber untuk saya tanyai seputar candi tersebut, dan bersyukur ketika disebuah rumah yang tidak jauh dari pintu masuk lokasi yang dijaga sejumlah anak kecil yang meminta iuaran masuk tanpa karcis yang entah kemana jalur pengelolaannya, maka saya bertemu dengan juru pelihara situs yang juga disebut kuncen, dan dimulailah percakapan yang juga direkam dengan Mini-DV yang saya bawa dengan tujuan awalnya yakni membuat film dokumenter tentang percadian di Karawang. Dan dari obrolan atau wawancara singkat itu saya mendapatkan banyak keterangan bukan hanya mengenai sang candi dan bagaimana berjalannya proses penelitian yang telah dilakukan dilokasi tapi juga saya diajak kesebuah gudang yang sebelumnya terkunci, sebuah ruangan ± 6 X 5 Meter yang di dalamnya terdapat fosil manusia, tembikar, dan berbagai jenis bebatuan yang diketemukan di lokasi yang masih terbungkus. Ternyata benda-benda itu belum mendapatkan tempat yang layak, masih ditumpuk. Adapun museum yang juga berada di desa Segaran itu yang terletak tidak jauh dari lokasi candi, tampak tutup, karena libur lebaran, sedikit aneh, padahal saya berpikir ini adalah lokasi wisata dimana umumnya buka di hari libur, karena dihari liburlah sebuah tempat wisata dikunjungi dengan ramai. Ya entahlah, yang pasti hilang kesempatan saya waktu itu untuk melihat apa saja yang ada di museum itu. Di hari berikutnya saya kembali menuju lokasi lain, yakni percandian di desa Cibuaya, seperti halnya perjalanan menuju Batujaya, keramaian tetap ada, bahkan jalan lebih ramai, karena ada dua lokasi pantai yang bisa dituju, yakni pantai Samudera Baru dan pantai Pisangan di kecamatan Pedes. Dan perkiraan saya tepat, mereka kebanyakan memang menuju dua lokasi tersebut, bukan ke lokasi candi Cibuaya. Dan yang sangat saya sayangkan ketika ternyata penduduk dilokasi sana tidak banyak yang mengetahui letak candi yang saya tuju didesa mereka, beberapa orang yang saya tanya di pasar yang berada didesa tersebut malah bertanya-tanya kalau didesa mereka ada situs purbakala. Aneh, ya memang aneh tapi itulah kenyataannya. Kantor desa masih tutup karena memang masa libur lebaran, jadi tidak ada yang bisa saya tanyai secara langsung, dan untungnya setelah mondar mandir mencari pentunjuk saya bertemu dengan penduduk yang tahu maksud saya, dan menunjukan dimana lokasi yang saya tuju, itupun dia tidak yakin kalau merupakan candi, dia hanya bilang bahwa tempat itu memang sering dikunjungi orang luar terutama yang mengaku ilmuan dan petugas pemda. Ya tidak salah lagi, itu memang tempatnya, simpul saya berdasarkan petunjuk juru pelihara situs di Batujaya sebelumnya.Luar biasa terkejut, ketika yang saya dapatkan hanya sebuah unur (gundukan tanah) ditengah hamparan sawah, dimana di atas unur itu berada tumpukan bata yang sudah berantakan tidak dirawat, apalagi dipagar, beberapa petani yang saya temui ketika tengah beristirahat di unur itu malah terheran-heran dan memiliki kisah atau cerita lain mengenai tumpukan bata yang dimaksud, mereka memang mengakui bahwa tempat itu adalah tempat keramat yang turun temurun dari nenek moyang atau sesepuh disana, tapi mereka sendiri tidak yakin bahwa tumpukan candi itu adalah sebuah candi peninggalan abad ke 2 Masehi. menurut seorang petani yang saya wawancarai, dahulu memang banyak unur di lokasi pesawahan ini, tapi kebanyakan sudah rata dengan tanah pesawahan, sudah dijadikan lahan pertanian, yang tertinggal hanya dua unur yang katanya dilarang digarap, karena sudah di ambil alih oleh pemerintah. Dan diantara mereka juga ada yang ingat, kalau dulu ada cerita bahwa dilokasi pesawahan diketemukan sebuah mahkota yang terbuat dari emas oleh seorang petani. Tapi cerita tentang kerajaan atau candi, mereka tidak tahu dengan pasti. Ya, kembali inilah kenyataannya. Selang satu minggu, saya beranjak ke kantor Dinas Penerangan Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang untuk melengkapi film dokumenter yang saya buat, dan akhirnya bertemu dengan seoarang petugas tepatnya yang bertugas dibidang pariwisata, dikesempatan itu saya bertanya mengenai perhatian pemerintah akan dua lokasi percandian dan rencana kedepannya untuk peninggalan masa lalu itu, dan alangkah kagetnya ketika saya mendapatkan jawaban bahwa pihak pariwisata tidak tertarik mengelola tempat itu karena katanya tidak memiliki prosfek bisnis yang cerah, dibandingkan lokasi-lokasi pantai yang sudah terbukti mendatangkan pemasukan ke kas Pemkab. Apalagi, menurutnya sama sekali candi tersebut tidak menarik, hanya tumpukan bata semata. Lagi-lagi itulah kenyataannya. Candi Batujaya dan Cibuaya kondisinya kiniKomplek percandian Batujaya menurut data yang saya temui berada dalam radius 5 hektare dan terdiri dari 24 lokasi candi, 13 lokasi berada di Desa Segaran Kecamatan Batujaya dan sisanya 11 lokasi di Desa Telagajaya Kecamatan Telagajaya yang memang berbatasan dengan Desa Batujaya. Dari 24 lokasi ini, baru 10 lokasi yang digali dan diteliti dan baru 2 candi yang dipugar, serta baru satu yakni candi Jiwa yang sudah rampung, satunya lagi candi Blandongan belum rampung. Diyakini kompleks pencandian ini adalah berlatarkan agama Buddha. Situs percandian Batujaya ini diketemukan pertama kali pada 1984 oleh tim arkelogi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kemudian dipugar untuk pertama kalinya tahun 1996.Sedangkan di kompleks Cibuaya, para peneliti menemukan 3 buah arca Wisnu dari 7 reruntuhan yang diketemukan. Dan yang masih tersisa dalam bentuk unur hanyalah candi Lemah Duhur Lanang dan Lemah Duhur Wadon. Dua nama ini mengandung arti, lemah berarti tanah, duhur berarti tinggi, sedangkan lanang berarti laki-laki dan wadon adalah perempuan. Jadi lemah duhur lanang artinya tanah tinggi laki-laki ditandai dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh dan lemah duhur wadon berarti tanah tinggi perempuan karena tidak atau jarangnya pohon yang tumbuh. Kedua lokasi ini sama sekali terbengkalai pasca diambilnya harta-harta peninggalan dan barang bukti. Penemuan arca Wisnu dilokasi ini mengisyaratkan bahwa agama Hindu-lah yang melatarbelakangi komplek percandian ini. Sejarah masa lalu komplek percadian Batujaya dan Cibuaya mulai disusun, beberapa kesimpulan sudah diketengahkan, tapi marilah kita juga mencatat untuk sejarah bahwa di abad ini, atau tepatnya periode sekarang umat manusia atau sebuah bangsa membengkalaikan peninggalan masa lalunya. Ya ini adalah sebuah kenyataan, bukan spekulasi ketika kita melihat kenyataan bahwa komplek percandian di kabupaten Karawang mulai ditinggalkan setelah assetnya diambil dengan latar belakang penelitian. Padahal jika kita prospekan kedepannya, kedua kompleks percandian yang terbesar di Jawa Barat ini memiliki potensi yang besar untuk dijadikan lokasi wisata sejarah yang luar biasa, bukan saja akan menguntungkan secara materi baik bagi masyarakat sekitar ataupun pemerintah, tapi juga demi kelestarian sejarah bangsa, apalagi situs ini adalah peninggalan abad ke-2 Masehi yang jauh lebih tua dibandingkan candi Borobudur yang ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun internasional. Dan jika mengaca kesuksesan Borobudur, seperti yang bisa kita baca di buku ‘Borobudur’ karangan Daoed Joesoef mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Pembangunan III (1978-1983) terbitan Kompas 2004, tentang bagaimana perjuangan untuk mengembalikan Borobudur, hingga akhirnya seperti yang bisa kita lihat dan nikmati sekarang, maka memang dibutuhkan banyak pengorbanan, banyak biaya, tidak semata-mata diukur pada untung rugi untuk mengelolanya tapi lebih kepada upaya penyelamatan sebelum benar-benar punah.Bahkan menurut juru pelihara situs dilokasi Candi Batujaya, lokasi ini seharusnya bisa menyaingi Borobudur, tidak tanggung-tanggung jika cerdik, bisa saja dibuat lokalisasi wisata dimulai dari monumen proklamasi ‘kebulatan tekad’ di Rengas Dengklok, pantai Pakisjaya dan komplek Percandian Batujaya dan Cibuaya, ini akan menjadi lokasi wisata yang luar biasa. Namun secara modal atau pengorbanan pun tentu saja akan lebih besar, terutama dalam pembebasan tanah penduduk, yang untuk komplek percandian Batujaya saja idealnya harus membebasakan minimal 5 X 5 KM tanah yang dominannya adalah areal pesawahan yang secara harga tentu sangat mahal, karena merupakan lahan produktif. Diperkirakan untuk pemugaran, penataan dan pembebasan tanah memerlukan dana ± 4 triliyun rupiah. Itulah kenyataannya, banyak hal yang bisa dilakukan, tapi banyak hal pula yang menjadi rintangan, tapi upaya itu sedikit demi sedikit sebenarnya sudah harus dilakukan, minimal adalah perlindungan dan pemagaran pada setiap lokasi candi ditiap unur (yang sudah diteliti sebelumnya) supaya tidak dirusak oleh binatang liar ataupun orang-orang yang tidak bertanggung jawab atau malah orang yang tidak tahu menahu bahwa tumpukan bata itu adalah peninggalan sejarah seperti di komplek Cibuaya. Dan upaya ini harus dilakukan bersama-sama oleh pemerintah pusat, Pemkab Karawang juga aparatur kecamatan dan desa yang ada didua lokasi ini serta tentunya melibatkan masyarakat setempat.

Rabu, 30 Juli 2008

Objek Wisata Pegunungan di Karawang


Objek Wisata Pegunungan
Karawang juga memiliki objek wisata alam pegunungan yang cukup luas, daya tarik wisata pegunungan ini adalah terdapatnya beberapa air terjun alam yang disebut dengan Curug, yaitu Curug Cigentis, Curug Santri, Curug Bandung, Curug Lalay dan banyak lagi pada sekitar tahun 1990-an objek wisata ini banyak dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar daerah, namun sekarang ini objek wisata tersebut relatif kurang pengunjungnya dan pemerintah Kecamatan Tegalwaru telah mencanangkan program wisata unggulan di wilayah ini untuk menarik kembali para wisatawan yang ingin berkunjung ke wilayah ini. selain itu di wilayah ini pun banyak terdapat Vila yang disewakan untuk para pengunjung, umumnya pengunjung yang berdatangan ke lokasi ini setiap hari minggu sekedar menikmati pemandangan alam dan tidak jarang yang kemudian berkemah di lokasi perkemahan pramuka dan tempat sarana latihan Militer yang terdapat di sana

Potensi Tempat wisata Dikarawang


Kabupaten Karawang memiliki banyak objek yang dapat dijadikan sebagai tujuan wisata keluarga, meskipun keberadaan objek wisata tersebut relatif masih belum dikelola secara optimal, bahkan sebagian lagi mulai terancam pengrusakan dan nyaris akan hilang, keberadaan objek wisata alam misalnya yang terdapat di dua wilayah berbeda misalnya wisata bahari di sepajang jalur utara Kabupaten Karawang dan Wisata Gunung Hutan di sepanjang jalur Selatan, berikut sekilas gambaran objek wisata di Karawang
Wisata Bahari Tanjung Pakis Karawang
Objek wisata ini terletak di ujung sebelah utara Karawang yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bekasi, lokasinya terletak di Desa Tanjung Pakis, jarak dari kota ke lokasi ini cukup jauh jika dengan menggunakan sepeda motor dibutuhkan waktu sekira 1 jam untuk mencapai lokasi wisata ini, Tempat ini demikian nyaman, dan telah dikelola secara profesional oleh perusahaan pariwisata PT. JHI sejak tahun 2000 an yang lalu, rata-rata pengunjung yang datang ke lokasi ini tidak kurang dari 1000 orang setiap bulannya dan ini merupakan salah satu objek wisata unggulan Kabupaten Karawang
Objek Wisata Bahari Pantai Pisangan
sama seperti objek wisata tanjungpakis, wisata bahari di Pisangan juga memiliki daya tarik pantai yang sama bagusnya, Lokasinya terletak di sebelah utara Karawang di Kecamatan Pedes, lokasi ini tampaknya masih belum dikelola secara optimal mengingat tepi pantai yang relatif lebih sempit jika dibandingkan dengan pantai Tanjungpakis.
Wisata Bahari Tanjung Baru
Lokasi objek wisata ini berada di Kecamatan Cilamaya, jalur menuju ke pantai ini lebih dekat dari arah Cikampek. Kondisi pantai ini lumayan baik karena pada masa jabatan Bupati Ahmad Dadang lokasi ini di bangun dan dicanangkan sebagai objek wisata unggulan Kabupaten Karawang.

KONSEP BARU PANTAI TANJUNG PAKIS di KARAWANG

Humas Potensi wisata pantai yang sangat besar di Kabupaten Karawang mulai menarik investor untuk ikut memajukan pariwisata di Karawang. Salah satunya adalah PT. Gusswara Musica Entertainment yang akan mencoba membangun sebuah kawasan pantai wisata yang bertaraf internasional di Pantai Tanjung Pakis Kecamatan Pakisjaya. Guna mendukung upaya tersebut, Direktur Utama PT. Gusswara Musica Entertainment, H. Agus Winarto, M.Sc memaparkan konsep Pantai Wisata Tanjung Pakis di hadapan para pejabat di Aula Gedung Singaperbangsa Pemda Karawang, Jumat (24/6).Dalam kesempatan tersebut, Kepala Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA) Kabupaten Karawang, Ir. Iman Sumantri mengatakan bahwa seiring dengan semakin tingginya minat wisatawan untuk berkunjung ke Pantai Tanjung Pakis, untuk itu perlu dikaji mengenai ketersediaan infrastruktur yang sesuai dengan keinginan wisatawan dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat lokal.Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, lanjut Iman Sumantri, obyek wisata Pantai Tanjung Pakis lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan dari golongan menengah ke bawah. Disamping itu, kurangnya sosialiasasi menyebabkan adanya pungutan ganda yang memberatkan wisatawan yang ingin mengunjungi kawasan Pantai Tanjung Pakis. “Selain itu, ada hal lain yang perlu diperhatikan bahwa kehadiran obyek wisata pantai ini tentu harus juga memperhatikan aspek teknisnya terutama diasana harus tersedia P3K, sanitasi lingkungan, maupun korps kesehatan. Hal ini karena apabila obyek wisata tidak terkendali, kawasan wisata dapat berubah menjadi tempat-tempat maksiat,” tambah Iman.Sementara itu, H. Agus Winarto dalam paparannya menyampaikan bahwa Pantai Tanjung Pakis setelah dianalisis ternyata memiliki beberapa potensi yang baik. Dimana potensi tersebut diantaranya adalah potensi pengembangan wilayah, pengembangan ekonomi, pengembangan sentra bisnis dan manufaktur, pengembangan pariwisata, interaksi sosial, pelayanan jasa, sampai dengan tingkat proyeksi pertumbuhan yang mencapai 15% per tahun.PT. Gusswara Musica Entertainment, lanjut Agus akan mengucurkan investasi dengan nilai total sebesar Rp 26.771.121.625 atau Rp 26 milyar lebih. Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan aset-aset komersial sebanyak Rp 11.395.885.625. sementara untuk pembangunan aset-aset non komersial, diperkirakan akan memakan biaya sebesar Rp 15.375.236.000. Perkiraan nominal biaya ini sendiri dihitung berdasarkan Keputusan Bupati Karawang mengenai satuan harga barang dan jasa di APBD tahun 2006.Pembangunan aset-aset komersial sendiri diantaranya adalah gerbang pintu masuk, Billboard, kios pasar wisata, MCK komunal, perahu wisata, pondok wisata, front office dan restoran, lapangan bola voli, gedung serba guna serta tempat bermain anak. Sedangkan untuk pembangunan aset-aset non komersial, PT. Gusswara Musica Entertainment akan melakukan pengaspalan jalan, pembangunan pos penjaga pantai, tempat istirahat, tempat bilas, penyambungan jalan, jembatan, dermaga perahu, batu pemecah ombak, penerangan jalan umum, penghijauan dan tanaman, sarana air bersih, serta pusat informasi, keamanan, dan kesehatan.

Selasa, 15 Juli 2008

Kawah Putih - Ciwidey of South Bandung

Far to the south of Bandung, the hill becomes greener. The fresh air flows through the bamboo trees marching along the way. Kawah Putih, The White Crater, is waiting for you who want to contemplate there.Surounded by the tea plantation, Kawah Putih is a very prospectuous tourist's destination in West Java - Indonesia. Located at about 30 km to the south of Bandung, Kawah putih is relatively easy to be reached. But, driving bu your own car is recommended, it's convenience because along the way, you can stop by to just take a rest, or buy strawberry which can be easily found in this area. Fresh and considerably cheap.panorama kawah putih is very beautiful.

Ciwidey

Visit the montane area in the south, and you can enjoy the exotic panorama and the fresh, cold mountain air.
The forests and tea plantations are more lush than those in the north, and offer an opportunity for natural adventures that will relieve your fatigue. Cellular signals are generally absent in the area, so you can rest assured that nobody will disturb your holiday.
The southern tourist area of Ciwidey is located about 35 kilometers from downtown Bandung, and is quite accessible. From Jakarta, head to Bandung and get on the road toward Cileunyi at the Padalarang toll gate. Exit at the Kopo toll gate and turn right, then head straight until you pass Soreang on your way to Ciwidey.
Along the Ciwidey road leading to the area’s tourist hub, you can stop briefly on the way to pick strawberries at one of a dozen strawberry orchards. At a price of Rp 20,000 to Rp 40,000 per kilogram, you can pick your fill of fresh, ripe strawberries.Roadside vendors selling strawberry jam and syrup also line the route.
The first interesting site — and the favorite among visitors — is the Kawah Putih (White Crater), which looks like a lake surrounded by mountains. The water is warm and has a high sulfur content, and the sun’s rays frequently change the color of the water from milky white into bluish green.
The Kawah Putih is formed by the active volcano of Mount Patuha, situated 2,343 meters above sea level. This crater is more famous than Kawah Saat to the west of Patuha. Both craters were formed between the 10th to 12th centuries by the eruption of Mount Patuha.
The beauty of the crater was brought to light by Dutchman Franz Wilhelm Junghuhn, who exposed it to the public in 1837.
History also records that the Dutch built Zwavel Otgining Kawah Putih, a sulfur factory, in the area. During the Japanese occupation of 1942-45, the factory assumed its Japanese name, the Kawah Putih Kenzanka Gokoya Ciwidey.
Today, visitors to Kawah Putih can wade in the waters of Kawah Putih to cure minor dermatological diseases.
To visit Kawah Putih, make sure that you get there before 10 a.m., because a mist descends in late morning, especially during the rainy season. The thick mist can obscure the beautiful panorama around the crater lake, the banks of which resembles a sandy beach.
Here, strawberries can be bought for less than if you picked them yourself. Half a kilogram of strawberries costs between Rp 5,000 and Rp 10,000. In addition, you can also buy pepino fruit for Rp 5,000 per kilogram. This fruit, which resembles a pear or an eggplant in shape, tastes like a melon. The vendors usually tell you that a pepino is good for lowering high blood pressure or high blood sugar.
At Kawah Putih, you can also find a number of stalls selling bandrek, a traditional Sundanese beverage made of ginger and brown palm sugar. This beverage is highly suitable for cold weather, as drinking bandrek will warm your body. The most famous bandrek is the Abah bandrek, made by an old man who is a Ciwidey native.
To the side of the entrance to Kawah Putih is a track for All Terrain Vehicles (ATVs), which you can drive for Rp 25,000 a person.
Leaving Kawah Putih, you can visit Rancaupas where deer are bred in captivity. Rancaupas, also a camp site, is located about 1 kilometer from the crater.
The captive breeding of Sambar deer (Cervus unicolor), which can usually be called by whistling to them, was begun in 1980 by the area’s tourism management, the West Java-Banten Forestry Unit III. The deer live on a plot of some 3.6 hectares, and visitors can watch them from beyond the property’s wire fence in special huts.
After the deer, visitors can head to Cimanggu and Rancawalini — the latter also known as Ciwalini — which have public hot-water pools to relieve fatigue.
An entrance ticket to a tourist site in Ciwidey costs on average Rp 5,000 per person and an added fee of Rp 10,000 per vehicle if you go by car.
The public pools at Cimanggu and Ciwalini, which both draw their hot water from Mount Patuha have an entrance fee of Rp 5,000. Private pools are available for another Rp 5,000.
A common sight at the hot-water pools are women and men massaging their bodies in the water. Just like the water in Kawah Putih, the sulfur in the hot-water pools is believed to be effective in curing rashes.
Further down the road from the pools is the tea plantation owned by PTPN VIII, which spans a vast area — a lush, green panorama to enjoy all day, and free of charge. Hundreds of local workers can be seen picking tea leaves here from morning to early afternoon.
You can then proceed on your journey to Situ Patengan, which is known to many Sundanese as Patenggang. Situ is a Sundanese word meaning lake.
The local legend of star-crossed lovers Prabu Ki Santang and Dewi Rengganis adds another level of attraction to the lake. Legend has it that the two lovers were separated and sought each other for many, many years. This “seeking” is called pateang-teang in Sundanese, and Patengan is thought to derive from this word.
It is said the tears that flowed from the lovers pooled to form the lake, and the spot where Santang and Rengganis were finally reunited is marked by a “love stone”. The stone has raised many a visitor’s curiosity, as it is rarely visible.
Boats are available at Rp 5,000 per person for visitors to sail to the center of the lake, while others enjoy water-biking at Rp 10,000 an hour for one.
The lake, which is relatively clean and well maintained, faces the problem of sedimentation during the dry season, which can cause the lake to decrease in depth by 10 meters. The sedimentation is caused by upstream damage to the Cirengganis River, which has loosed dirt and is carried downstream as mud to be deposited on the shores of the lake.
Situ Pateng, which measures about 45,000 hectares, is part of a nature reserve spanning 123,000 hectares.
While northern Bandung attracts over 20 million tourists a year, the south is not yet popular. Due to the lack of promotion, theBandung municipal tourism office records only 3.2 million tourists annually to the natural tourism destinations in Ciwidey and its surrounding area — considered an economic engine for the people of southern Bandung.
“You can get (to Ciwidey) from three places: Buah Batu, Mohammad Toha and Kopo. These areas are usually heavily congested,” said the father of two from Cigadung in the Dago area of Bandung. “We usually feel reluctant to go through traffic jams, as it consumes a lot of time and gasoline.”
In the meantime, the municipal administration is still waiting for investors for the Soreang-Pasirkoja (Soroja) toll road, the construction of which is expected to open access to the Ciwidey tourism area.

Mounth Patuha Volcano

Patuha volcano is located SW of Bandung and contains two craters 600 m apart. Lahar deposits have been found 20 km NE of the volcano.Two craters adorn the summit of Patuha Volcano. The dry crater of Kawah Patuha lies 600 meters northwest of Kawah Putih, a crater lake with approximately 8 meters of water depth. Kawah Putih crater lake represents a relatively stable volcanic system, with no records of magmatic or phreatic activity since A.D. 1600. Nevertheless, magmatic activity manifests itself in Kawah Putih as the hyperacid lakewater solution that results from condensation of SO2, H2S, and HCl gases near the lake bottom.